16 Juni 2011 mendatang Indonesia akan mengalami gerhana bulan total terlama untuk tahun ini. 
“Gerhana bulan total nanti akan terjadi sekitar 1,5 jam,” kata Thomas   Djamaluddin, profesor riset bidang astronomi dan astrofisika dari   Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Selasa 7 Juni 2011.
Total durasi gerhana, dari mulai gerhana bulan sebagian awal sampai   akhir, kata Djamal, diperkirakan berlangsung selama 3 jam 20 menit,   yakni dari pukul 01.22 WIB – 05.02 WIB. Durasi itu, Djamal menambahkan,   lebih panjang dari gerhana bulan total yang juga akan terjadi pada 10   Desember 2011 mendatang.
Dibandingkan dengan gerhana bulan Desember nanti, gerhana 16 Mei ini   juga memiliki peluang lebih besar untuk bisa dinikmati dengan mata   telanjang, mengingat saat ini memasuki musim kemarau. “Gerhana bulan   Desember nanti relatif lebih sulit diprediksi, karena berada di musim   hujan,” kata dia.
Djamal juga mengungkapkan, ini kesempatan bagi masyarakat untuk   mengetahui kualitas lapisan atmosfer bagian atas (lapisan stratosfer   yang berada di ketinggian di atas 5.000 meter dari permukaan bumi) yang   mungkin selama ini ‘dicemari’ oleh akumulasi debu-debu vulkanik.
Pasalnya, debu-debu vulkanik yang sampai di lapisan atmosfer bagian   atas, bisa bertahan hingga bertahun-tahun. Contohnya, letusan Gunung   Pinatubo yang terjadi pada 1991 dan memakan ratusan korban jiwa, debu   vulkaniknya bertahan hingga dua tahun.
Menurut Djamal, kualitas atmosfer itu bisa diukur dengan melihat   kecerahan warna garis antara bayangan bumi dengan cahaya bulan. Bila   warna cahaya bulan terlihat cerah dan tegas, maka kualitas atmosfer   lebih baik. Tapi bila warnanya lebih gelap, maka kualitas atmosfer lebih   buruk.
Djamal memisalkan, setelah letusan Gunung Tambora pada 1815 yang   menewaskan sekitar 100 ribu jiwa, atmosfer lapisan bumi saat itu   tertutup debu vulkanik sampai beberapa waktu sehingga saat gerhana   bulan, garis antara bayangan bumi dengan cahaya bulan berwarna gelap dan   baur.

Selain itu, Djamal juga menerangkan, ketika gerhana bulan total   terjadi, maka bulan, bumi, dan matahari berada dalam satu garis dan   secara teoritis potensi pelepasan energi tektonik atau vulkanik berada   di titik maksimum. Sebab, saat itu gaya tarik yang dialami oleh bumi   melebihi gaya tarik di waktu-waktu pasang biasa pada tiap awal dan   tengah bulan.
“Secara teori peluang pelepasan energi di waktu itu berada di kondisi   maksimum. Namun, kita tidak bisa memastikan kapan energi tersebut   benar-benar dilepaskan sehingga bisa terjadi gempa atau letusan gunung   berapi,” kata Djamal.
Oleh karenanya, kata Djamal, sebaiknya kita tak terlalu mencemaskan   hal itu. Sebaliknya menurut Djamal, ini merupakan kesempatan bagi   masyarakat untuk menyaksikan gerhana bulan dengan lebih baik. “Kita bisa   bangun lebih awal, melakukan salat gerhana, dan menyaksikan gerhana   bulan yang relatif cukup panjang.”
Artikel Terkait: